PUNCAK POPULER — Penerapan teknologi pertanian rendah karbon menjadi sorotan utama dalam gelaran perdana International Sustainable Rice Forum (ISRF) 2025 yang digelar Preferred by Nature pada 17–18 November di Jakarta. Forum global ini menghadirkan berbagai inovasi untuk menekan emisi dari produksi beras, komoditas pangan utama di dunia yang menyumbang hingga 1 gigaton CO₂e emisi gas rumah kaca per tahun.
ISRF 2025 menekankan bahwa akselerasi transisi teknologi, mulai dari pengelolaan air cerdas, mekanisasi rendah emisi, hingga digitalisasi pemupukan menjadi kunci untuk mendorong sistem pertanian padi yang produktif, efisien, dan ramah iklim.
Ketua Umum PERPADI, Sutarto Alimoeso, menjelaskan bahwa praktik lama seperti pengairan yang terus-menerus, ketergantungan pupuk kimia, hingga pembakaran jerami telah menjadi penyebab degradasi tanah dan tingginya emisi metana. Karena itu, teknologi baru seperti Alternate Wetting and Drying (AWD) menjadi solusi utama.
“AWD memungkinkan lahan tidak selalu tergenang. Tanah perlu ‘istirahat’, perlu oksigen. Kalau terus tergenang, fisiknya berat, mikroba mati, dan emisi meningkat,” ujarnya.
Teknologi yang dibahas meliputi:
- AWD (Alternate Wetting and Drying): Mengurangi emisi metana, menghemat air, menjaga mikroba tanah tetap hidup.
- Biocar / Biokarbon: Mengembalikan bahan organik ke tanah agar tidak keras dan kehilangan unsur hara.
- Elektrifikasi Penggilingan: 67 penggilingan kecil beralih dari mesin diesel ke listrik, hemat biaya hingga 40% dan menurunkan emisi 15%.
- Standarisasi pemupukan digital: Mengurangi penggunaan pupuk kimia berlebih dengan indikator visual terstandardisasi.
- Larangan pembakaran jerami dan pemanfaatan sekam sebagai energi terbarukan: Mengubah limbah pertanian menjadi sumber energi hijau.
Menurut Sutarto, langkah-langkah tersebut memadukan prinsip good agricultural practices dengan teknologi terapan yang mudah direplikasi oleh petani.
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menegaskan bahwa Indonesia memasuki fase pembangunan pertanian berbasis teknologi besar-besaran dalam 1–5 tahun mendatang. Mekanisasi, varietas unggul, serta kolaborasi riset internasional akan menjadi fokus utama untuk meningkatkan produksi beras rendah karbon.
“Tujuannya jelas, pangan harus produktif, berkelanjutan, dan tahan iklim,” ucapnya dalam keynote speech.
Sementara itu, Dubes Uni Eropa, H.E. Denis Chaibi, menekankan pentingnya teknologi sebagai penghubung antara keberlanjutan dan efisiensi rantai nilai beras. UE mendukung Indonesia melalui program SWITCH Asia untuk mendorong inovasi hijau dan penguatan ekonomi petani.
Peralihan energi pada penggilingan padi menjadi bukti nyata bahwa transisi hijau di sektor pertanian sedang berlangsung. PLN juga terlibat memberikan dukungan pada penggilingan yang mulai beralih ke listrik.
Sutarto menjelaskan bahwa meski traktor listrik belum meluas, arah transisi itu pasti terjadi.
“Kalau tidak pernah memulai, kapan majunya? Pengaturan air seperti AWD sudah terbukti efektif menurunkan emisi dan efisiensi energi,” ujarnya.
Forum juga menyinggung peluang kredit karbon bagi petani yang menjalankan praktik rendah emisi. Meski per petani nilainya kecil, pengelompokan melalui koperasi atau kelompok tani berpotensi memberikan manfaat ekonomi signifikan.
Selama empat tahun terakhir, proyek Low Carbon Rice telah diterapkan di lima kabupaten:
- Klaten, Sragen, Boyolali (Jawa Tengah)
- Ngawi, Madiun (Jawa Timur)
Dampaknya:
- 2.650 petani terlibat
- 1.037 hektare menerapkan praktik berkelanjutan
- Pengenalan pasar beras rendah karbon melalui restoran dan pembeli institusional
- Pembentukan SRP National Working Group untuk memperkuat kebijakan nasional
ISRF 2025 mempertemukan ilmuwan, regulator, lembaga donor, pengusaha penggilingan, dan petani untuk mempercepat adopsi teknologi. Diskusi panel melibatkan tokoh internasional seperti IRRI, SRP, FAO, dan World Bank.
Pembahasan fokus pada:
- Pertanian padi rendah karbon
- Mekanisasi ramah lingkungan
- Digitalisasi data untuk pemupukan dan monitoring sawah
- Akses pasar untuk beras berkelanjutan
- Integrasi kebijakan pangan dengan agenda iklim
Executive Director Preferred by Nature, Peter Feilberg, menekankan bahwa kuncinya adalah menghubungkan sains, kebijakan, dan praktik.
“Beras bisa menjadi peluang terbesar kita untuk perubahan positif. Teknologi membuat solusinya makin jelas. Hal itu yang kita butuhkan adanya mempercepat penerapannya.”
ISRF 2025 menunjukkan bahwa transformasi teknologi tidak hanya berdampak pada mitigasi emisi, tetapi juga efisiensi energi, penghematan biaya, serta peningkatan kesejahteraan petani.
Dengan kolaborasi pemerintah, organisasi internasional, akademisi, dan sektor swasta, Indonesia berpeluang menjadi pusat produksi beras rendah karbon dunia.
Transformasi teknologi bukan lagi pilihan, melainkan fondasi baru menuju ketahanan pangan masa depan.
