Bisnis UMKM Belum Bisa Terangkat

Bisnis Umkm Belum Bisa Terangkat

PUNCAK POPULER — Pemulihan ekonomi yang mulai terlihat di beberapa sektor belum sepenuhnya dirasakan oleh para pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Hingga memasuki penghujung tahun, banyak UKM mengaku usaha mereka belum benar-benar bisa terangkat. Penjualan masih rendah, biaya produksi semakin tinggi, sementara akses modal dan peluang pasar belum sepenuhnya terbuka. Kondisi ini membuat sebagian besar pelaku UKM hanya bergerak dalam ritme bertahan, bukan berkembang.

Di berbagai daerah, keluhan serupa disampaikan oleh pelaku usaha yang bergerak di sektor kuliner, fashion, kerajinan, perbengkelan, hingga jasa rumahan. Pendapatan harian yang sebelumnya bisa stabil kini justru berfluktuasi tajam. Seorang perajin tas di Bandung mengaku omzetnya turun hingga 50 persen dalam tiga bulan terakhir. Sementara penjual makanan di Makassar mengatakan pengunjung kian jarang datang karena banyak konsumen mulai mengurangi pengeluaran di luar kebutuhan pokok.

Salah satu penyebab utama bisnis UKM sulit bangkit adalah daya beli masyarakat yang belum solid. Kenaikan harga kebutuhan pokok, lonjakan harga bahan bakar, serta biaya hidup yang terus meningkat membuat konsumen lebih berhati-hati dalam berbelanja. Produk UKM, yang sebagian besar tidak masuk kategori kebutuhan primer, menjadi sektor yang paling cepat terkena dampaknya. Banyak konsumen yang kini menunda membeli produk fesyen, aksesori, atau produk kerajinan karena harus memprioritaskan kebutuhan harian.

Dari sisi pelaku usaha, tantangan tidak hanya datang dari permintaan yang menurun. Para pemilik UKM juga dibayangi oleh biaya produksi yang semakin mahal. Bahan baku seperti minyak goreng, tepung, kain, plastik kemasan, hingga alat produksi mengalami kenaikan harga dalam beberapa bulan terakhir. Biaya logistik yang meningkat turut memperburuk kondisi, terutama bagi UKM yang menjual produk secara online dan memerlukan ongkos kirim kompetitif. Kondisi ini membuat harga jual produk tidak lagi seimbang dengan biaya operasional, sehingga margin keuntungan UKM menyusut drastis.

Di tengah tekanan tersebut, akses permodalan menjadi tantangan besar lainnya. Meski pemerintah menyediakan sejumlah fasilitas pembiayaan, banyak UKM yang tidak lolos proses pengajuan karena terkendala persyaratan administratif, tidak memiliki agunan, atau belum memiliki pembukuan yang rapi. UKM mikro yang baru merintis justru paling rentan, sehingga mereka akhirnya bergantung pada pinjaman informal yang memiliki bunga tinggi. Kondisi ini tidak jarang menjerumuskan pelaku usaha pada tekanan keuangan lebih besar.

Tidak hanya itu, persaingan di era digital juga menjadi ujian tersendiri bagi UKM. Memasuki era pemasaran online, kemampuan beradaptasi menjadi sangat penting. Namun, banyak pelaku UKM yang masih belum mampu memanfaatkan media sosial secara optimal. Mereka kesulitan membuat konten, tidak memahami strategi pemasaran digital, serta kurang paham cara memaksimalkan platform e-commerce. Sementara kompetitor dari luar daerah bahkan luar negeri kini membanjiri pasar online Indonesia dengan harga yang sangat kompetitif.

Dalam beberapa kasus, UKM yang sudah mencoba memasarkan produk secara digital pun menghadapi masalah baru: penipuan pembeli pembatalan pesanan, hingga ongkos kirim mahal yang membuat konsumen enggan membeli. Hal ini menimbulkan dilema bagi pelaku UKM yang ingin memperluas pasar tetapi terbentur biaya operasional dan tantangan sistem perdagangan digital.

Meski menghadapi berbagai tekanan, beberapa pelaku UKM tetap mencoba berinovasi agar bisnis mereka tidak berhenti total. Ada yang mulai membuat paket hemat untuk menarik minat konsumen, memperbaiki tampilan produk, hingga membangun kolaborasi dengan pelaku usaha lain. Sejumlah pelaku UKM kuliner mencoba memperkenalkan menu baru yang lebih terjangkau, sementara pengrajin memilih menggunakan bahan lokal yang lebih murah untuk menekan biaya produksi.

Para pengamat ekonomi menilai kondisi stagnasi yang dialami UKM merupakan sinyal bahwa sektor ini membutuhkan dukungan yang lebih konkret dan terarah. UKM merupakan salah satu pilar utama perekonomian Indonesia, menyumbang lebih dari 60 persen PDB nasional serta menyerap sebagian besar tenaga kerja. Jika UKM tidak segera didorong bergerak naik, maka pemulihan ekonomi secara keseluruhan akan berjalan lambat.

Pemerintah daerah dan pusat sebenarnya telah menggulirkan beberapa program dukungan, seperti pelatihan digital, akses pembiayaan, hingga bantuan peralatan produksi. Namun pelaku UKM menilai program-program tersebut sering kali tidak menyentuh kebutuhan riil di lapangan. Banyak UKM yang menginginkan pelatihan yang lebih aplikatif, pendampingan berkelanjutan, serta insentif yang langsung berdampak pada biaya operasional mereka.

Selain itu, pelaku UKM juga mendorong adanya kebijakan yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga perputaran uang di sektor riil kembali normal. Mereka berharap pemerintah dapat menjaga stabilitas harga bahan pokok, menekan inflasi, dan memberikan ruang bagi UKM untuk mendapatkan bahan baku dengan harga wajar.

Dengan kondisi yang belum sepenuhnya membaik, para pelaku UKM terus berupaya bertahan sambil menunggu momentum pemulihan yang lebih nyata. Mereka berharap adanya kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha besar, platform digital, serta masyarakat agar UKM dapat memperoleh pasar yang lebih luas dan kesempatan berkembang lebih besar.

“Meskipun bisnis UKM belum bisa terangkat sepenuhnya, semangat para pelaku usaha kecil untuk terus beradaptasi dan bertahan menjadi motor penting dalam menjaga stabilitas ekonomi lokal. Namun tanpa dukungan kebijakan yang kuat dan terarah, beban yang mereka hadapi akan semakin berat. Pemulihan sektor UKM kini menjadi pekerjaan rumah besar yang harus segera dituntaskan agar ekonomi nasional dapat bergerak lebih cepat dan merata.”

By Delta

Related Post